Rabu, 30 September 2009

KH.MUHAMMAD HASYIM ASY'ARI ( 1871-1947 )

yayasansaifuddinzuhri, 17 Juni 2009
BAPAK KAUM SANTRI, PEMBELA TANAH AIR
KH. MUHAMMAD HASYIM ASY'ARI
Lahir: pada tanggal 14 Februari 1871,
di Desa Nggendang, Jombang
Wafat: 25 Juli 1947.
Pendidikan: Pesantren Wonokoyo,
Probolinggo; Pesantren Langitan, Tuban;
Pesantren TrenggaLis, Semarang;
Pesantren Siwalan, Panji, Sidoarjo;
Mekkah Mukarramah.
Pengabdian: Pengasuh Pesantren
Tebuireng, Jombang; Pemrakarsa
Komite Hijaz; Pendiri NU; Pejuang.

PARA pengungsi itu berbondong-bondong memasuki daerah Jombang. Kota Surabaya sepenuhnya sudah dikuasai Belanda. Bahkan, tentara Belanda sudah mulai menapakkan kakinya di perbatasan Krian, Mojokerto. Saat itulah rombongan utusan Bung Tomo ― pemimpin perjuangan untuk mempertahankan Kota Pahlawan di tahun 1945 itu ― menginjakkan kakinya di pintu gerbang Pesantren Tebuireng.
Lingkungan pesantren saat itu lengang. Utusan yang terdiri dari para lasykar Surabaya langsung masuk menuju kediaman Hadratussyekh KH.Muhammad Hasyim Asy'ari, tokoh spiritual yang secara tidak langsung mengendalikan perlawanan "arek-arek Suroboyo". Para utusan Bung Tomo itu tidak langsung bertatap muka dengan Hadratussyekh lantaran saat itu beliau masih istirahat.
Yang menemui mereka adalah salah seorang putra lelakinya, Yusuf Hasyim (kini pengurus Syuriyah PBNU). Tak beberapa lama, Kiai Hasyim sudah muncul di ruang tamu kediamannya. Tanpa banyak basa-basi, mengingat gentingnya keadaan, para utusan itu menghaturkan pesan Bung Tomo agar Kiai Hasyim segera mengungsi keluar dari Jombang. Jawaban Kiai? Beliau merenung sebentar. Beberapa saat kemudian, pendiri NU ini tersenyum dan mengucapkan terima kasih atas saran yang disampaikan Bung Tomo atas dirinya. (Untuk mengetahui lebih lanjut tentang Kiai ini ada di Buku"MENAPAK JEJAK MENGENAL WATAK,Sekilas Biografi 26 Tokoh NU")

BAPAK KAUM SANTRI, PEMBELA TANAH AIR
KH. MUHAMMAD HASYIM ASY'ARI
Lahir: pada tanggal 14 Februari 1871,
di Desa Nggendang, Jombang
Wafat: 25 Juli 1947.
Pendidikan: Pesantren Wonokoyo,
Probolinggo; Pesantren Langitan, Tuban;
Pesantren TrenggaLis, Semarang;
Pesantren Siwalan, Panji, Sidoarjo;
Mekkah Mukarramah.
Pengabdian: Pengasuh Pesantren
Tebuireng, Jombang; Pemrakarsa
Komite Hijaz; Pendiri NU; Pejuang.

PARA pengungsi itu berbondong-bondong memasuki daerah Jombang. Kota Surabaya sepenuhnya sudah dikuasai Belanda. Bahkan, tentara Belanda sudah mulai menapakkan kakinya di perbatasan Krian, Mojokerto. Saat itulah rombongan utusan Bung Tomo ― pemimpin perjuangan untuk mempertahankan Kota Pahlawan di tahun 1945 itu ― menginjakkan kakinya di pintu gerbang Pesantren Tebuireng.
Lingkungan pesantren saat itu lengang. Utusan yang terdiri dari para lasykar Surabaya langsung masuk menuju kediaman Hadratussyekh KH.Muhammad Hasyim Asy'ari, tokoh spiritual yang secara tidak langsung mengendalikan perlawanan "arek-arek Suroboyo". Para utusan Bung Tomo itu tidak langsung bertatap muka dengan Hadratussyekh lantaran saat itu beliau masih istirahat.
Yang menemui mereka adalah salah seorang putra lelakinya, Yusuf Hasyim (kini pengurus Syuriyah PBNU). Tak beberapa lama, Kiai Hasyim sudah muncul di ruang tamu kediamannya. Tanpa banyak basa-basi, mengingat gentingnya keadaan, para utusan itu menghaturkan pesan Bung Tomo agar Kiai Hasyim segera mengungsi keluar dari Jombang. Jawaban Kiai? Beliau merenung sebentar. Beberapa saat kemudian, pendiri NU ini tersenyum dan mengucapkan terima kasih atas saran yang disampaikan Bung Tomo atas dirinya. (Untuk mengetahui lebih lanjut tentang Kiai ini ada di Buku"MENAPAK JEJAK MENGENAL WATAK,Sekilas Biografi 26 Tokoh NU")

KISAH PENCIPTA LAMBANG NU( Muktamat NU Ke 2 Surabaya 1927)

Kisah Pencipta Lambang NU (Muktamar NU Ke 2 Surabaya 1927)


Nu dikenal sebagai ormas yang memiliki nama-nama legendaris seperti ; symbol  jagat, bintang sembilan, juga dikenal sebagai ormas yang memiliki lambang bumi. Lambang-lambang itu memiliki makna yang terus menemukan relevansi. Simbol tersebut juga mengalami perkembangan sesuai dengan dinamika zaman. Kedalaman makna symbol NU tersebut bisa dilihat dari proses penciptaannya, yang memang mengatasi kondoisi-kondisi manusiawi, sehingga makna yang disebarkan juga melampaui zaman.
Alkisah, menjelang Muktamar yang waktu itu lazim disebut Kongres, walaupun dalam dokumen resmi kara Muktamar juga digunakan. Dalam Muktamar NU ke 2  bulan Robiul Awal 1346 bertepatan dengan bulan Oktober 1927, di Hotel Muslimin Peneleh Surabaya memiliki cerita tersendiri. Kongres ini rencanakan diselenggarakan lebih meriah ketimbang Muktamar pertama Oktober 1926 yang persiapannya serba darurat. Kali ini muktamar dispersiapkan lebih matang  hanya bidang materi, manajemennya  tetapi juga perlu disemarakkan dengan kibaran bendera dan dengan sendirinya bendera perlu simbol atau lambang.
Pada saat itu Muktamar kurang dua bulan diselenggarakan, tetapi NU belum memiliki lambang. Keadaan itu membuat Ketua Panitia Muktamar KH Wahab Hasbullah, cemas, maka diadakan pembicaraan empat mata dengan KH Ridwan Abdullah di rumah Kawatan Surabaya. Semula pembicaraan berkisar pada persiapan konsumsi Kongres NU, yang ketika dipegang oleh KH Ridwan Abdullah. Kemudian pembicaraan beralih kepada lambang yang perlu dimiliki oleh NU, sebagai identitas dan sekaligus sebagai mitos.
Selama ini memang KH Ridwan Abdullah telah dikenal sebagai Ulama, yang punya bakat melukis, makanya KH Wahab Hasbullah meminta agar dibuatkan lambang NU yang bagus buat Jam’iyah kita ini agar lebih mudah mengenalinya, ujar KH Wahab. Tentu saja permintaan KH Wahab yang mendadak tersebut agak sulit diterima, tetapi akhirnya disepakati juga demi kehebatan NU, maka Kiai Ridwan mulai mencari inspirasi. Beberapa kali sketsa lambang dibuat. Tetapi semuanya dirasakan masih belum mengena di hati, maka gambar dasar tersebut diganti lagi sampai beberapa kali.  Usaha membuat gambar dasar lambang NU tersebut sudah diulang beberapa kali dengan penuh kesabaran hingga memakan waktu satu bulan setengah dengan demikian  Kongres sudah diambang pintu semestinya sudah diselesaikan.

Sampai tiba waktunya KH Wahab pun datang menagih pesanan “mana Kyai, lambang NU-nya ?” Tanya Kiai Wahab, maka dijawab oleh KH Ridwan “Sudah beberapa sketsa lambang NU dibuat, tapi rasanya masih belum sesuai, untuk lambang NU, karena itu belum bisa kami selesaikan”. Mendengar jawaban itu  KH Wahab mendesak dengan mengatakan “seminggu sebelum Kongres sebaiknya gambar sudah jadi lho”. Melihat ketidakpastian itu Kiai Ridwan hanya menjawab “Insya Allah”.

Bagaimanapun waktu untuk membuat gambar yang sempurna, sudah demikian sempitnya. Maka jalan yang ditempuh oleh KH Ridwan adalah melakukan shalat “istikharoh”. Minta petunjuk kepada Allah SWT. Pada suatu ketika Sholat malampun dilakukan. Seusai sholat KH Ridwan tidur lagi. Dalam tidurnya KH Ridwan mendapat petunjuk melalui mimpi, ia tiba-tiba melihat sebuah gambar di langit biru. Bentuknya sama dengan lambang NU yang sekarang.

Pada waktu itu, jam dinding sekitar pukul 2 malam. Setelah terbangun dari tidur KH Ridwan langsung mengambil kertas dan pena. Sambil mencoba mengingat-ingat sebuah tanda di langit biru, dalam mimpinya, pelan-pelan symbol dalam mipimpi tersebut dicoba divisualisasikan. Tak lama kemudian sketsa lambang NU pun jadi dan mirip betul dengan gambar dalam mimpinya.

Pada pagi harinya, sketsa kasar tersebut disempurnakan dan diberi tulisan Nahdlatul Ulama dari huruf Arab dan NU huruf latin. Dalam sehari penuh gambar tersebut dapat diselesaikan dengan sempurna. Maklum Kiai Ridwan adalah seorang pelukis yang berbakat. Kesulitan yang kedua dihadapi oleh KH Ridwan adalah bagaimana mencari bahan kain untuk menuangkan lambang tersebut sebagai dekorasi dalam medan Kongres. Beberapa toko di Surabaya dimasuki tak ada yang cocok karena warna warna yang terlihat didalam mimpi tak ada yang cocok dengan warna kain yang ada di toko-toko Surabaya. Akhirnya KH RIdwan mencoba carinya ke Malang, kebetulan kain yang dicari-cari  ditemukan sayang hanya sisa 4 X 6 meter. Walaupun jumlahnya hanya sedikit tapi tetap dibeli dan di bawa pulang ke Surabaya dan langsung dipotong sesuai dengan ukuran gambar yang sudah dirancang. Bentuk lambang NU itu dibuat memanjang ke bawah. Lebar 4 meter Panjang 6 meter, ini merupakan bentuk asli lambang NU.
Menjelang pembukaan  Muktamar symbol NU telah dipasang di arena Muktamar yang megah, symbol baru itu menambah keindahan suasana. Ketika Muktamar dibuka dan pada Muktamirin diperkenalkan symbol baru tersebut, maka semua hadirin yang berjumlah 18 ribu orang itu berdecak kagum melihat gambar yang indah dan sakral tersebut. Simbol tersebut memang mewakili dinamika abad ke 19. Karena itu pada perjalanan berikutnya mengalami penyederhanaan sebagai pendinamisasian, sesuai dengan semangat zaman yang mulai bergerak menuju kemajuan, dan didorong oleh semangat perjuanagan menuju kejayaan

Minggu, 27 September 2009

UCAPAN TERIMA KASIH

 PANITIA RAMADHAN DAN ZAKAT FIRAH 

MASJID AL-KHAIRATUL ISLAM

MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH KEPADA SELURUH PANITIA YANG TELAH MEMBANTU DALAM KEGIATAN TERSEBUT 
AMAL BAIK BAPAK/ SDR MUDAH MUDAHAN DIBALAS OLEH ALLAH SWT DAN MENJADI TIMBANGAN AMAL KEBAIKAN AMIN

TRADISI PERAYAAN MAULID NABI MUHAMMAD SAW






Tradisi Maulid Nabi Muhammad SAW bermula pada masa pemerintahan Bani Taimiyah, kemudian dilanjuti pada masa pemerintahan Khalifah Bani Abbas oleh penguasa Al Haramain (dua tanah suci, Mekah dan Madinah) Sultan Salahuddin Al Ayyubi (Soultan Saladin).

Salahuddin memerintah para tahun 1174-1193 M atau 570-590 H pada Dinasti Bani Ayyub, setingkat Gubernur dengan pusat kesultanannya berada di kota Qahirah (Kairo), Mesir, dan daerah kekuasaannya membentang dari Mesir sampai Suriah dan Semenanjung Arabia.

Perintah merayakan Maulid ini disampaikan pertama kali pada musim Haji 579 H (1183 Masehi). Sebagai penguasa dua tanah suci kala itu, atas persetujuan Khalifah Bani Abbas di Baghdad, Sultan mengimbau agar seluruh jamaah haji seluruh dunia jika kembali ke kampung halaman masing-masing segera mensosialisasikan kepada masyarakat Islam dimana saja berada. Maksud Sultan Salahuddin merayakan tradisi ini selain bentuk cintanya pada Rasul juga sebagai cara membangkitkan semangat juang umat Islam yang kala itu kehilangan semangat juang dan persaudaraan ukhuwah ketika terjadi perang salib.

Salahuddin ditentang oleh para ulama. Sebab sejak zaman Nabi peringatan seperti itu tidak pernah ada. Lagi pula hari raya resmi menurut ajaran agama cuma ada dua, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Akan tetapi Salahuddin kemudian menegaskan bahwa perayaan Maulid Nabi hanyalah kegiatan yang menyemarakkan syiar agama, sehingga tidak dapat dikategorikan bid`ah yang terlarang.

Salah satu kegiatan yang diadakan oleh Sultan Salahuddin pada peringatan Maulid Nabi yang pertama kali tahun 1184 (580 H) adalah menyelenggarakan sayembara penulisan riwayat Nabi beserta puji-pujian bagi Nabi dengan bahasa yang seindah mungkin. Seluruh ulama dan sastrawan diundang untuk mengikuti kompetisi tersebut. Pemenang yang menjadi juara pertama adalah Syaikh Ja`far Al-Barzanji. Karyanya yang dikenal sebagai Kitab Barzanji sampai sekarang sering dibaca masyarakat di kampung-kampung pada peringatan Maulid Nabi.

Penyair Ahmad Syauqi menggambarkan kelahiran Nabi Mulia itu dalam syairnya yang indah:

“Telah dilahirkan seorang Nabi, alam pun bercahaya, sang waktu pun tersenyum dan memuji”.


Tradisi Maulid Nabi di Tanah Jawa

Bagi sebagian orang Islam tradisi merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW merupakan sebagai salah satu bentuk pengejewantahan rasa cinta umat kepada Rasul Nya.

Di tanah Jawa sendiri tradisi ini telah ada sejak zaman walisongo, pada masa itu tradisi Maulid Nabi dijadikan sebagai sarana dakwah penyebaran agama Islam dengan menghadirkan berbagai macam kegiatan yang menarik masyarakat. Pada saat ini tradisi Maulid/Mauludan di Jawa disamping sebagai bentuk perwujudan cinta umat kepada Rasul juga sebagai penghormatan terhadap jasa-jasa Walisongo.

Sebagian masyarakat Jawa merayakan maulid dengan membaca Barzanji, Diba’i atau al-Burdah atau dalam istilah orang Jakarta dikenal dengan rawi. Barzanji dan Diba’i adalah karya tulis seni sastra yang isinya bertutur tentang kehidupan Muhammad, mencakup silsilah keturunannya, masa kanak-kanak, remaja, pemuda, hingga diangkat menjadi rasul. Karya itu juga mengisahkan sifat-sifat mulia yang dimiliki Nabi Muhammad, serta berbagai peristiwa untuk dijadikan teladan umat manusia. Sedangkan Al-Burdah adalah kumpulan syair-syair pujian kepada Rasulullah SAW yang dikarang oleh Al-Bushiri.

Berbagai macam acara dibuat untuk meramaikan acara ini, lambat laun menjadi bagian dari adat dan tradisi turun temurun kebudayaan setempat.

Di Cirebon, Yogyakarta, dan Surakarta, perayaan maulid dikenal dengan istilah sekaten. Istilah ini berasal dari stilasi lidah orang Jawa atas kata syahadatain, yaitu dua kalimat syahadat. Perayaan umumnya bersifat ritual penghormatan (bukan penyembahan) terhadap jasa para wali penyebar Islam, misalnya upacara Panjang Jimat yaitu upacara pencucian senjata pusaka peninggalan para wali.

Di Cirebon upacara Panjang Jimat di fokuskan di dua tempat yaitu Keraton Kasepuhan dan Astana Gunung Jati. Di Jogjakarta dan Surakarta di masing-masing keraton dengan acaranya Grebeg Mulud. Pada zaman kesultanan Mataram perayaan Maulid Nabi disebut Gerebeg Mulud. Kata "Gerebeg" artinya mengikuti, yaitu mengikuti sultan dan para pembesar keluar dari keraton menuju masjid untuk mengikuti perayaan Maulid Nabi, lengkap dengan sarana upacara, seperti nasi gunungan dan sebagainya. Di Garut, terdapat upacara Ngalungsur yaitu proses upacara ritual dimana barang-barang pusaka peninggalan Sunan Rohmat (Sunan Godog/Kian Santang) setiap setahun sekali dibersihkan atau dicuci dengan air bunga-bunga dan digosok dengan minyak wangi supaya tidak berkarat, di fokuskan di desa Lebak Agung, Karangpawitan. Di Banten kegiatan di fokuskan di Masjid Agung Banten. ditempat lain diantaranya tempat-tempat ziarah makam para wali.

Di beberapa tempat kadang-kadang perayaan ini dijadikan ajang berkumpulnya para tokoh masyarakat dan sesepuh setempat, seperti kyai, bangsawan/elang, dan tidak ketinggalan para jawara dari berbagai paguron untuk saling bersilaturahim, untuk membicarakan berbagai macam hal yang menyangkut daerah setempat. Tapi hal ini jarang diekspos karena sifatnya yang non formal, sehingga tidak banyak masyarakat yang mengikuti.

Pandangan Ulama NU

Para ulama NU memandang peringatan Maulid Nabi ini sebagai bid’ah atau perbuatan yang di zaman Nabi tidak ada, namun termasuk bid’ah hasanah (bid’ah yang baik) yang diperbolehkan dalam Islam. Banyak memang amalan seorang muslim yang pada zaman Nabi tidak ada namun sekarang dilakukan umat Islam, antara lain: berzanjen, diba’an, yasinan, tahlilan (bacaan Tahlilnya, misalnya, tidak bid’ah sebab Rasulullah sendiri sering membacanya), mau’izhah hasanah pada acara temanten dan Muludan.
Dalam Madarirushu’ud Syarhul Barzanji dikisahkan, Rasulullah SAW bersabda: "Siapa menghormati hari lahirku, tentu aku berikan syafa'at kepadanya di Hari Kiamat." Sahabat Umar bin Khattab secara bersemangat mengatakan: “Siapa yang menghormati hari lahir Rasulullah sama artinya dengan menghidupkan Islam!”

Ditulis dari berbagai sumber.

TOKOH

AGH. MUHAMMAD AS'AD (1906 - 1952)
Bermula dari Pengajian Halaqoh di Rumahnya
17/09/2009
Anre Gurutta (AG) H. M. As’ad. (Dalam masyarakat Bugis dahulu beliau digelar Anre Gurutta Puang Aji Sade’). Beliau merupakan Mahaguru dari Gurutta Ambo Dalle (1900 - 1996), adalah putra Bugis, yang lahir di Mekkah pada hari Senin 12 Rabi’ul Akhir 1326 H/1907 M dari pasangan Syekh H. Abd. Rasyid, seorang ulama asal Bugis yang bermukim di Makkah al-Mukarramah, dengan Hj. St. Saleha binti H. Abd. Rahman yang bergelar Guru Terru al-Bugisiy.

Pada akhir tahun 1347 H/1928 M, dalam usia sekitar 21 tahun. AG H. M. As’ad merasa terpanggil untuk pulang ke tanah leluhur, tanah Bugis, guna menyebarkan dan mengajarkan agama Islam kepada penduduk tanah Wajo khususnya, dan Sulawesi pada umumnya.

Beliau berbekal ilmu pengetahuan agama yang mendalam dan gelora panggilan ilahi, disertai semangat perjuangan yang selalu membara. Pada waktu itu, memang berbagai macam bid’ah dan khurafat masih mewarnai pengamalan agama Islam, oleh karena kurangnya pendidikan dan da’wah Islamiyah kepada mereka.

Membongkar tempat-tempat Penyembahan Berhala
Langkah pertama yang dilakukan beliau setelah tiba di kota Sengkang adalah mulai mengadakan pengajian khalaqah di rumah kediamannya. Di samping itu beliau mengadakan da’wah Islamiyah di mana-mana, serta membongkar tempat-tempat penyembahan dan berhala-berhala yang ada disekitar kota Sengkang.

Pada tahun pertama gerakan beliau, bersama dengan santri-santri yang berdatangan dari daerah Wajo serta daerah-daerah lainnya, beliau berhasil membongkar lebih kurang 200 tempat penyembahan dan berhala. Pada tahun 1348 H/1929 M, Petta Arung Matoa Wajo, Andi Oddang, meminta nasehat Anre Gurutta H. M. As’ad tentang pembangunan kembali masjid yang dikenal dengan nama Masjid Jami, yang terletak di tengah-tengah kota Sengkang pada waktu itu.

Setelah mengadakan permusyawaratan dengan beberapa tokoh masyarakat Wajo, yaitu : (!) AG H. M. As’ad, (2) H. Donggala, (3) La Baderu, (4) La Tajang, (5) Asten Pensiun, dan (6) Guru Maudu, maka dicapailah kesepakatan bahwa mesjid yang sudah tua itu perlu dibangun kembali. Pembangunan kembali masjid itu dimulai pada bulan Rabiul Awal 1348 H/1929 M, dan selesai pada bulan Rabiul Awal 1349/1930 M.

Setelah selesai pembangunannya, maka Masjid Jami itu diserahkan oleh Petta Arung Matoa Wajo Andi Oddang kepada AG H. M. As’ad untuk digunakan sebagai tempat pengajian, pendidikan, dan da’wah Islam. Sejak itulah beliau mendirikan madrasah di Mesjid Jami’ itu, dan diberi nama al-Madrasah al-‘Arabiyyah al-Islamiyyah (MAI) Wajo.

Tingkatan-tingkatan yang beliau bina pada waktu itu adalah: 1. Tahdiriyah, 3 tahun 2. Ibtidaiyah, 4 tahun 3. Tsanawiyah, 3 tahun 4. I’dadiyah, 1 tahun 5. Aliyah, 3 tahun Semua kegiatan persekolahan ini dipimpin langsung oleh AG H. M. As’ad, dibantu oleh dua orang ulama besar, yaitu Sayid Abdullah Dahlan garut, ex. Mufti Besar Madinah al-Munawwarah, dan Syekh Abdul Jawad Bone.

Beliau juga dibantu oleh murid-murid senior beliau seperti AG H. Daud Ismali, dan almarhum AG H. Abd. Rahman Ambo Dalle. Pengajian khalaqah (pesantren) yang diadakan setiap ba’da shalat Subuh, ba’da shalat Ashar, dan ba’da shalat Magrib, yang semula diadakan di rumah beliau, dipindahkan kegiatannya ke Mesjid Jami Sengkang. Pesantren dan Madrasah yang didirikan dan dibina oleh beliau itulah yang menjadi cikal bakal Pondok Pesantren As’adiyah sekarang.

Terus Berkembang
Selain Pesantren dan Madrasah tersebut di atas, AG H. M. As’ad juga membuka suatu lembaga pendidikan yang baru, yaitu Tahfizul Qur’an, yang dipimpin langsung oleh beliau, dan bertempat di Masjid Jami Sengkang. Pada tahun 1350 H/1931 M. atas prakarsa Andi Cella Petta Patolae (Petta Ennengnge), dengan dukungan tokoh-tokoh masyarakat Wajo, dibangunlah gedung berlantai dua di samping belakang Masjid Jami Sengkang.

Bangunan itu diperuntukkah bagi kegiatan al-Madrasah al-Arabiyyah al-Islamiyyah (MAI) Wajo, karena santrinya semakin bertambah. AG H. M. As’ad berpulang ke rahmatullah pada hari Senin 12 Rabiul Akhir 1372 H/29 Desember 1952 M. dalam usia 45 tahun.

Sesuai dengan wasiat beliau beberapa saat sebelum wafat, peninggalan beliau berupa Madrasah dan pesantren kemudian dilanjutkan pembinaannya oleh dua murid senior beliau; AG H. Daud Ismail, dan AG H. M. Yunus Martan.

Pada tanggal 13 Agustus 1999, berdasarkan Undang-undang No. 6 Tahun 1959, dan Keppres RI No. 076/TK/Tahun 1999, Presiden RI telah menganugerahkan tanda kehormatan Bintang Mahaputra Naraya kepada AG H. M. As’ad, karena jasa-jasa beliau yang luar biasa terhadapa negara dan bangsa Indonesia. Tanda penghormatan itu diterima di Jakarta atas nama beliau oleh putra beliau, H. Abd. Rahman As’ad. (Disadur kembali dari berbagai sumber  dari itus nu Oleh muhamad Hamim)
 

Sabtu, 26 September 2009

PEMBUKAAN KEMBALI KEGIATAN PAUD AL-KHAIRATUL ISLAM

 PEMBERITAHUAN

SETELAH LIBUR DALAM RANGKA HARI RAYA IDUL FITRI 1430 H/2009 M
TAMAN PENDIDIKAN ANAK USIA DINI AL-KHAIRATUL ISLAM PONDOKCINA KECAMATN BEJI KOTA DEPOK AKAN DIBUKA KEMBALI PADA HARI SELASA TANGGAL29 SEPTEMBER 2009.
KEPADA SELURUH ORANG TUA AGAR MENJADI MAKLUM

TERIMA KASIH

DZIKIR MENUNGGU SHALAT BERJAMAAH

Subhaanallaahi, wal hamdulillaahi, wa laa ilaaha illallaahu wallaahu akbar wa laa hawlaa wa laa quwwata illa billaahil ‘aliyyil ‘azhiimi. Astaghfirullaah

Artinya:
Maha suci Allah, segala puji hanya milik Allah, tiada tuhan selain Allah, Allah Mahabesar, tiada daya upaya dan kekuatan selain dengan ijin Allah yang Mahatinggi lagi Mahaagung. Aku mohon ampun kepada-Mu ya Allah.

BAPAK LURAH PONDOKCINA MERESMIKAN PAUD AL-KHAIRATUL ISLAM

PEMBUAKAAN TAMANPENDIDIKAN ANAK USIA DINI BINA ANAK MUSLIM MASJID AL-KHAIRATUL ISLAM

DEPOK JULI 2009- Pembukaan taman Pendidikan Anak Usia Dini Bina Anak muslim Masjid Al-Khahiratul Islam akan mewarnanai kehidupan masyarakat Pondokcina Kecamatan Beji Kota Depok.

Pada hari Selasa tanggal 14 Juli 2009 telah dibuka secara resmi  oleh Bapak Lurah Pondokcina Bpk yono, Taman Pendidikan Anak Usia Dini Bina Anak Muslim Masjid Al_khairatul Islam dan disaksikan juga oleh Ketua LPM Pondokcina Bpk Azhari Hasan serta seluruh lapisan masyarakat. 

Pada kata sambutannya pak lurah mengharapkan agar kegiatan ini terus digalakan agar segenap masyarakat Pondokcina dan sekitarnya dapat mengikuti pendidikan anak dibawah 6 tahun.

Taman Pendidikan Anak Usia Dini Bina Anak muslim Masjid Al-Khahiratul Islam Pondokcina Kecamatan Beji Kota Depok, dibawah kegiatan NAHDLATUL ULAMA RANTING PONDOKCINA.

Taman Pendidikan Anak Usia Dini Bina Anak muslim Masjid Al-Khahiratul Islam Pondokcina Kecamatan Beji Kota Depok, beralamat : JL.H.MAHALI RT.01/04 KELURAHAN PONDOKCINA KECAMATAN BEJI KOTA DEPOK KODE POS 16424 TELPON.02192371044
http//paudal_alkhairatulislam.blogspot.com/





DZIKIR MENUNGGU SHALAT BERJAMAAH

Subhaanallaahi, wal hamdulillaahi, wa laa ilaaha illallaahu wallaahu akbar wa laa hawlaa wa laa quwwata illa billaahil ‘aliyyil ‘azhiimi. Astaghfirullaah

Artinya:
Maha suci Allah, segala puji hanya milik Allah, tiada tuhan selain Allah, Allah Mahabesar, tiada daya upaya dan kekuatan selain dengan ijin Allah yang Mahatinggi lagi Mahaagung. Aku mohon ampun kepada-Mu ya Allah.



KEGIATAN RUTIN MURID PAUD AL-KHAIRATUL ISLAM


SETIAP HARI SABTU KEGIATAN RUTIN MURID MURID PAUD AL-KHAIRATUL ISLAM ADALAH SENAM BERSAMA SEBELUM BELAJAR DIMULAI,TANPA ANAK ANAK BERSEMANGAT MENGIKUTI SENAM YANG DIAJARI OLEH PARA GURU.

PAUD AL-KHAIRATUL ISLAM PADA SAAT INI SUDAH MEMPUNYAI MURID SEBANYAK 42 ORANG DAN PENGAJAR SEBANYAK 4 ORANG


ALAMAT PAUD AL-KHAIRATUL ISLAM:
JL.H.MAHALI KELURAHAN PONDOKCINA RT.01/04 KECAMATAN BEJI KOTA DEPOK JAWA BARAT TELPON.02192371044

Lencana Facebook

Pengikut

Mengenai Saya

Foto saya
MUHAMAD HAMIM PUTRA ASLI PONDOKCINA KOTA DEPOK DILAHIRKAN PADA TAGGAL 10-AGUSTUS 1961 ANAK KE 7 DARI SEPULUH BERSAUDARA DARI PASANGAN HAMIM (ALMARHUM )DENGAN HJ.NAWIYAH BINTI H.MAWIH. BERISTRIKAN RITA TATIANA PUTRI ASLI PONDOKCINA KOTA DEPOK ANAK KE 7 DARI H.IBRAHIM ( ALMARHUM )DENGAN HJ.NASIAH .DIKARUNIA 2 PUTRA JAYA MUHRIATNA YANG SEDANG MENYELESAIKAN KULIAHNYA DI UNIVERSITAS GUNADARMA DAN TAUFIK HIDAYAT KULIAH DI UNIVERSITAS INDONESIA